Father: Roronoa Zoro
Mother: Nico Robin
Daughter: Roronoa Kuina
Son: Roronoa Niro
.
.
Zoro sangat menginginkan anak laki-laki. Sudah terbayang olehnya ia akan mendidiknya keras dengan jalan Bushido, menjadi seorang pria sejati dengan ilmu pedang. Ia memiliki ratusan murid laki-laki di dojonya tapi ia sendiri berharap anaknya sendirilah yang ingin ia jadikan pewarisnya. Ajaran santoryuu yang sudah melegenda.
"Dad belikan mainan," kata Zoro suatu hari saat pulang kerja.
"Lho?" respon Robin saat melihat anak mereka yang berusia 2 tahun itu membuka bungkusannya. "Mobil-mobilan, robot-robotan, dan pedang plastik untuk anak perempuan?"
"A-Aku tidak tahu mainan apa yang biasanya dimainkan anak perempan," ungkap Zoro jujur.
"Mungkin masak-masakan dan boneka?" kata Robin tampak berpikir. "Aku juga tak pernah bermain seperti itu waktu kecil. Waktu kecilku kuhabiskan untuk membaca." Dan, tentu saja keluarga angkatnya itu tak mau membelikannya mainan untuknya.
"Tapi Kuina belum bisa membaca buku-buku tebalmu," imbuh Zoro. "Sejauh yang kulihat, ia tak begitu tertarik."
Sementara itu, Kuina tak terlalu memedulikan ayah ibunya. Ia justru tampak menikmati mainan tersebut, terutama pedang plastik.
"Wah, dia suka, Zoro," kata Robin tersenyum. "Sepertinya ia mewarisi bakatmu. Bukankah karena itu kau menamainya Kuina?"
Memang benar. Yang ada di kepala Zoro saat melihat bayinya perempuan sementara dari awal ia terus memikirkan bagaimana akan menjadi seorang ayah dengan cara-caranya yang ia kenal, reflek nama itulah yang terlontar. Mungkin rambut Kuina yang sekarang tidak sebiru Kuina yang dulu, ia mewarisi rambut raven Robin, toh mereka memang dua orang yang berbeda; tapi Zoro tidak punya bayangan lain untuk nama perempuan sementara ia menyiapkan puluhan nama laki-laki.
Dan, nyatanya Kuina memang mirip Kuina. Atau mungkin, itu karena pengaruh Zoro meski ia sebenarnya tak ingin ada Kuina kedua. Sementara itu, bayi laki-laki mereka yang berjarak 7 tahun dengan kakaknya lupa menjadi fokus Zoro. Anak perempuannya sudah lekat dengannya dan benar saja, si bungsu itu merangkak ke arah buku tebal Robin yang tergeletak di atas kasur dan membuka-bukanya karena penasaran meski tak bergambar.
"Dad, kapan kita ke Taman Ria Sabaody?" tanya Kuina usia 8 tahun. "Kau sudah janji."
"Sampai kau bisa mengalahkanku," jawab Zoro mengelap katananya.
Kuina merengut. "Curang! Mana bisa aku mengalahkan Dad sekarang? Menyentuh saja belum bisa."
Zoro pun berdiri dan menyundul dahi putrinya dengan sarung pedang. "Mau coba lagi?"
"Dad nakal!"
Robin ikut menimbrung sambil menggendong anak kedua mereka, Niro. "Lunaklah sedikit. Bagaimana kalau syaratnya dipermudah menjadi sampai pedangnya berhasil menyentuh kepalamu? Tak harus keras yang bisa menjatuhkanmu. Anggap saja sudah 'Men'."
"Baiklah," jawab Zoro. "Ayo, ke sasana."
Robin juga ikut mereka. Ini sudah kesekian kali ia melihat latihan itu. Biasanya memang ia yang membantu jadi wasit, sekedar untuk memberi aba-aba. Toh, Robin juga membaca buku-buku tentang Pedang dan berbagai macam alirannya jadi ia mengerti sedikit.
"Eit, tunggu," kata Zoro. "Kau tidak boleh dibantu Mom dengan kemampuan buah setannya untuk mengunci gerakan tubuhku seperti tahun lalu."
"Asal menyentuh saja kan?" tanya Kuina.
"Ya, tapi tetaplah serang dengan sekuat tenagamu."
Robin memberi aba-aba mulai. Kuina pun mulai menyerang. Ia mengayunkan pedang bambunya ke arah kepala Zoro, tentu saja susah karena perbedaan tinggi tubuh. Zoro hanya bertahan dan itu membuat kuina semakin sebal karena diremehkan. Ia pun semakin gencar memberi serangan.
JDUAKKKKKKKKK...
Zoro terbawa suasana karena tempo permainan Kuina yang ditingkatkan, membuatnya menyodok perut putrinya dan menghempaskannya. "Hahaha," tawa Zoro. "Kau perlu 1000 tahun lagi untuk menyentuhku."
Kuina masih tersungkur.
"Kuina?" Zoro hapal biasanya Kuina akan kesal setengah mati diejek seperti itu dan memperlihatkan semangat pantang menyerahnya. Ia akan terus bangkit sampai lelah, benar-benar mengingatkannya pada kegigihan sosok Zoro kecil dahulu.
Kuina tak bergerak.
"OI!" Zoro pun menghampirinya. "Kau kenapa?"
Bercanda kan, batin Zoro mendadak kalut. Ia takut bayangan Kuina yang lama muncul. Masa harus dengan cara yang 'sama' mereka terhenti bermain pedang? Kecelakaan? Aku tidak menyodoknya terlalu keras kan? Kepalanya tidak terbentur saat terhempas tadi kan? Kumohon... Kuina tidak apa-apa kan?
"Fufufu..."
"Robin, jangan hanya tertawa," seru Zoro. "Anak kita..."
Duk...
"Men!" seru Robin.
"Eh?"
"Kena..," lirih Kuina.
Rupanya saat Zoro cukup panik tadi, Kuina hanya pura-pura. Dan dengan jarak sedekat itu, tanpa pertahanan dan tanpa kesiagaan, cukup ayunan ringan sudah bisa menyentuh kepala Zoro.
"Cu-" kata Zoro.
"Seis Fleur." Dan muncullah tangan-tangan Robin untuk membungkam protes Zoro. Dua tangan membekap mulutnya, dua tangan memegang kakinya, dan dua tangan mengunci tangan Zoro ke belakang, Ia pun menghampiri mereka. "Kau sudah janji, Zoro."
"Rrrrr... bbbb... nnnn...," Zoro meronta tak berkutik. Ini tak menyangka istri dan putrinya akan bersekongkol lagi.
"Eit, siapa yang bersekongkol?" kata Robin membaca ekspresi Zoro. "Aku hanya tahu kalau Kuina tadi berpura-pura, sebelumnya ia tak bilang apa-apa soal ini. Kau yang polos, fufufu..."
"Cccc...rrrr...nnngggg."
"Kan tadi syaratnya asal bisa menyentuh. Toh, Mom tidak membantuku kan?" sambung Kuina. "Pokoknya besok Minggu ke Taman Ria Sabaody. Iya kan, Dad?"
Zoro ingin menggeleng tapi lagi-lagi dihentikan Robin yang membisikinya. "Atau kau mau aku bocorkan rahasia pada anak kita mengapa kau tidak ingin ke Sabaody, Kenshi-san? Kau yang selalu bilang tak terkalahkan itu?"
"Mmmphhhh..." Zoro pun mengangguk dengan susah payah.
0 komentar:
Posting Komentar